Perkembangan dan Sejarah Kota Jeddah



Jeddah berasal dari bahasa Arab “Jaddah” atau “Juddah” yang berarti nenek. Konon, nama ini dihubungkan dengan suatu klaim bahwa nenek moyang manusia, Hawa, dikuburkan di daerah ini. Oleh sebab itu, kota Jeddah ini menjadi salah satu tempat ziarah yang bisa dikunjungi oleh setiap wisatawan atau jamaah haji dan umrah. 
 
Kota Jeddah adalah sebuah kota metropolitan di Arab Saudi. Secara geografis kota ini terletak di sebelah pantai timur Laut Merah pada 309 garis BT dan antara 21-289 garis LU, persisnya di daratan rendah pinggir Laut Merah, ±75 Km dari Kota Suci Makkah. Kota ini memiliki dua iklim cuaca, yaitu musim panas dan musim dingin. 
 
Musim panas terjadi pada bulan Juni sampai dengan bulan September dengan suhu 35-42 Celcius dan musim dingin terjadi pada bulan November sampai dengan Februari dengan suhu 10-25 Celcius. Berdasarkan sensus penduduk tahun lalu, ditemukan bahwa penduduk Kota Jeddah telah mencapai 1,5 juta jiwa. 
 
Penduduk kota ini cukup heterogen, karena di dalamnya terdapat berbagai macam suku bangsa di dunia, seperti Arab, Persia, Indonesia, India, Negro, banga-bangsa Eropa dan lain-Iain. Kota yang luasnya ± 3.500 kilometer persegi ini tampak padat dan marak dengan kehidupan yang hingar bingar. Dalam sejarah, daerah Jeddah ini pada awalnya digunakan oleh suku Qudha’ah untuk beristirahat usai berburu ikan. 
 
Lambat laun akhirnya mereka jadikan sebagai perkampungan mereka dan selanjutnya mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ahmad Al-Santanawy dalam kitab Dairah Al-Ma’arif Al-lslamiyah menyebutkan, bahwa sejak tahun 648 M kota ini menjadi kota pelabuhan bagi Makkah dan sekitarnya, yaitu sejak diresmikan oleh Utsman bin Affan (Khalifah Rasyidah ke-3) pada masa pemerintahannya. 
 
Dan sejak itu pula, kota ini semakin maju dan memberikan kontribusi sangat besar bagi setiap golongan yang menguasainya, terutama bagi perkembangan perekonomian bangsa Arab dan umat Islam. Sebelum pusat kekuasaan Islam pindah ke Damsyiq (Damaskus) dan Baghdad, Kota Jeddah menjadi sangat penting bagi kekuasaan Islam saat itu. 
 
Demikian pentingnya kota tersebut, oleh Nasir Khasrow, seorang penulis Persia yang pernah mengunjungi kota ini pada tahun 1050, disebut sebagai kota yang kuat, yang dikelilingi oleh benteng-benteng yang kokoh. “Penduduknya mencapai 5.000 jiwa. Di kota tersebut belum terdapat tumbuh-tumbuhan, sehingga semua kebutuhannya didatangkan dari luar,” jelas Khasrow.
 
♦♦♦
 
Sekitar Abad ke-15, seiring dengan Vasco da Gama menemukan Tanjung Pengharapan, Jeddah menjadi salah satu pelabuhan yang diincar oleh armada Portugis untuk dijadikan daerah koloni dan pusat kekuatan. Jeddah pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk dari Mesir dan sebagai gubernurnya adalah Husein Al-Kurdi. Husein adalah sosok yang gigih menentang penjajahan Portugis. 


 
Pada tahun 1517 Jeddah jatuh ke tangan Turki, dan setelah Turki menyerah kepada Inggris (1910-1925), kota ini merupakan bagian dari kerajaan Hijaz. Selanjutnya, Jeddah berada di bawah kekuasaan Abdul Aziz Ibnu Saud dan dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan kerajaan Arab Saudi. Renovasi dan modernisasi Kota Jeddah sebenarnya dimulai setelah usai perang dunia kedua. 
 
Pembangunan gedung-gedung dan jalan-jalan dilakukan secara bertahap dan berjalan dengan cepat karena disokong oleh dana yang besar. Dana tersebut diperoleh dari hasil kekayaan alam yang dimiliki oleh kerajaan Arab Saudi yang demikian melimpah ruah, terutama dari sektor penghasilan minyak bumi. 
 
Seiring dengan itu, wajah kota ini berubah dari wilayah gersang dan buruk menjadi kota yang indah dan sejuk dipandang mata. Pembangunan gedung-gedung dan jalan-jalan yang membelah kota melancarkan roda komunikasi, sehingga Jeddah berubah menjadi sebuah kota metropolitan. Sebagai kota pelabuhan dan perdagangan, kota ini disibukkan oleh kegiatan bongkar muat barang, baik impor maupun ekspor. 
 
Dari sinilah masuknya barang-barang luar negeri untuk keperluan pembangunan dan kebutuhan rakyatnya. Dari pelabuhan Jeddah juga dikapalkan komoditi ekspor berupa minyak, gom arab, kulit binatang dan mutiara, hasil kerajinan, seni anyaman, tembikar, pakaian, barang-barang keagamaan, perikanan, pencarian mutiara dan lain-lain. 
 
Dengan demikian, Jeddah mampu memberikan devisa yang sangat besar bagi pembangunan dan kemajuan perekonomian negara Arab Saudi. Jeddah juga berfungsi menjadi tempat penyaluran sebagian kekayaan yang dimiliki Arab Saudi ke negara-negara Islam, baik dalam bentuk kontrak kerja, bantuan, maupun pinjaman. 
 
Ketika Portugis memonopoli perdagangan, Jeddah telah menampakkan peranannya sebagai pusat komersial disamping sebagai pelabuhan haji. Kota ini merupakan pelabuhan transit bagi kapal-kapal dagang, baik dari Mesir, India, dan Timur Jauh. Ketika Terusan Suez dibuka pada 1869, Jeddah semakin penting peranannya sebagai pelabuhan utama yang harus dilalui oleh kapal-kapal dagang dari berbagai negara. 
 
♦♦♦
 
Di samping posisinya sebagai kota Pelabuhan dan perniagaan, Jeddah juga berfungsi sebagai kota pusat kegiatan pemerintahan dan kota diplomatik bagi pemerintahan Kerajaan Arab Saudi. Di kota ini terdapat istana raja dan kantor Departemen Luar Negeri Arab Saudi serta kantor perwakilan negara-negara asing dan badan-badan internasional lainnya. 


 
Pintu masuk ke Arab Saudi ini sering dijadikan sebagai lokasi pertemuan para pemimpin bangsa, khususnya negara-negara Islam untuk membicarakan berbagai persoalan yang terkait dengan Islam. Beberapa kantor badan internasional ditemukan di kota ini, seperti Organisasi Penyiaran Negara Islam, Badan Dana Ilmu, Teknologi dan Pembangunan, Badan Solidaritas Islam, Bank Pembangunan Islam, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan lain-lain. 
 
Seiring dengan itu, Kota Jeddah sekarang telah menjadi kota bebas terbuka untuk perhubungan dan perdagangan internasional, sehingga menjadi kota bisnis terbesar di Timur Tengah. Di mana-mana tampak bangunan tinggi, perkantoran, pertokoan, supermarket dan hotel yang megah karena pada umumnya penduduk dari berbagai negara Teluk sengaja datang ke Jeddah untuk berbelanja. 
 
Dalam kaitannya dengan ibadah haji, Kota Jeddah berfungsi sebagai salah satu Miqat Makani dalam pelaksanaan ihram bagi ibadah haji. Jamaah haji Indonesia yang memasuki Kota Mekkah dengan menggunakan fasilitas pesawat terbang menggunakan Kota Jeddah sebagai tempat memulai ihram. Keputusan ini ditetapkan oleh pihak pemerintah Indonesia sejak tahun 1980 berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). 
 
Di samping jamaah haji Indonesia, hampir semua jamaah haji dan umrah juga singgah di sini, karena kota ini adalah tempat transit jamaah haji. Menurut catatan, dalam satu tahun lebih kurang dari dua juta orang jamaah haji berkunjung ke Tanah Suci melalui Kota Jeddah. Khusus untuk pengangkutan jamaah haji, pemerintah Arab Saudi telah membangun pelabuhan laut dan pelabuhan udara. 
 
Pelabuhan udara yang dibangun dinamakan Bandara King Abdul Aziz yang terletak beberapa kilometer dari Kota Jeddah. Bandara King Abdul Aziz merupakan sebuah pelabuhan udara yang sangat megah, indah dan menakjubkan. Penggunaan bendara tersebut dimulai sejak diresmikannya pada tahun 1981. 
 
Pada tahun itu pula, MUI mengeluarkan fatwa tentang sahnya Bandara King Abdul Aziz sebagai Miqat Makani bagi jamaah haji Indonesia. Dengan demikian, sejak saat itu tempat memulai ihram bagi jamaah haji Indonesia beralih dari Kota Jeddah ke Bandara King Abdul Aziz. Kota Jeddah sedikitnya memiliki tiga julukan, antara lain: 1) Sang Pengantin Putri Merah. 
 
Julukan ini diberikan karena kecantikan dan keindahannya. 2) Pintu Gerbang Dua Tanah Haram. Julukan ini diberikan karena letak geografisnya sebagai pintu masuk ke Makkah dan Madinah, terutama melalui jalur laut dan udara. 3). Kota di tengah-tengah pasar. Julukan ini diberikan karena fungsinya sebagai pusat kegiatan bisnis dan perdagangan tingkat dunia. (rol/Ensiklopedi Haji dan Umrah/jurnalhajiumroh)\
 

0 comments: